Kisah Sukses Ibu Pinik emilik merek telur asin EL ini memulai usaha telur asin rumahan karena terinspirasi dengan banyaknya peminat telur asin, namun masih sedikitnya pebisnis yang melirik bisnis ini, sementara bahan baku di daerahnya yaitu berupa telur bebek segar sangat berlimpah ruah. Walaupun sempat merasa ragu, akhirnya dengan berpikiran positif, ia mencoba merealisasikan bisnis telur asin ini. Dimulai dari ide tersebut, akhirnya ia mencoba untuk membuat telur asin. Percobaan pertamanya gagal karena telur-telur itu menjadi terlalu asin dan kurang enak untuk di konsumsi. Setelah mengalami beberapa kali kegagalan, akhirnya ia berhasil juga menciptakan resep telur asinnya sendiri dan ia pun mulai memasarkan telur asin itu kepada teman-temannya dan keluarganya. Aspirasi teman dan keluarga yang menyukai telur asin buatannya tersebut membuatnya semakin bersemangat untuk terus mengembangkan bisnis telur asin ini. Dari berbagai artikel, dari saran teman-teman dan keluarganya, maka ia harus mencoba menitipkan telur asin buatannya tersebut ke toko-toko kue dan ke depot-depot makan.
Mungkin bagi orang yang terbiasa berjualan, hal ini sangatlah mudah. Tinggal membawa telur asin tersebut ke suatu toko atau depot makan, meminta pemilik toko atau depot tersebut menerima titipan telur-telur asin itu dan selesailah sudah. Namun masalah baru muncul. Ia tidak pandai berjualan. Ia hanya bisa memproduksi telur-telur tersebut lalu menunggu teman atau keluarganya membeli telur-telur itu. Ia belum pernah mempunya pengalaman untuk berjualan. Padahal, jika ingin usaha telur asinnya ini berkembang ia harus memasarkan produknya secara luas. Tapi apa yang dialami ibu Pinik ini jelaslah tidak semudah yang dibayangkannya. Pemilik toko yang pertama kali dikunjunginya menolak untuk dititipi telur asin itu dengan alasan produknya masih belum dikenal. Padahal ibu Pinik ini dengan rela memberikan bonus telur untuk dicicipi oleh pemilik toko.
Begitu pula dengan depot makanan pertama yang dikunjunginya pun menolak karena menganggap telur asinnya itu belum tentu diminati oleh pengunjung depot tersebut. Hari pertama akhirnya dilalui dengan tangan hampa, tidak ada satupun toko dan depot yang dikunjunginya itu mau menerima titipan telur asin-telur asin itu. Dalam keputusasaan, ia tetap berpikiran positif, bahwa suatu saat telur asin buatannya ini akan dikenal oleh masyarakat bahkan akan menjadi favorit. Tapi bagaimana hal itu bisa terjadi jika untuk menitipkan sepuluh butir telur asin ke suatu toko saja ia belum mampu? Itu berlangsung selama beberapa hari, bahkan hampir dua minggu pertama ia tidak mendapatkan tempat untuk menitipkan produk telur asinnya tersebut. Putus asa? Jelas. Ibu Pinik nyaris putus asa akan usaha ini.
Sempat di dalam pikirannya terlintas bahwa bisnis ini tidak akan dapat dipertahankan bahkan ia nyaris menghentikan pembuatan telur asin mengingat telur asin adalah produk makanan yang tidak akan dapat disimpan terlalu lama. Telur asin yang tanpa bahan pengawet hanya bisa bertahan sekitar dua hingga tiga minggu. Jika lebih dari itu, maka rasa dari telur asin itu akan sangat tidak enak dikonsumsi dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Dan jelas, telur seperti ini tidak akan bisa dijual dan harus dibuang. Sejak itu, ibu Pinik berusaha untuk berpikiran positif, maka akan ada banyak jalan keluar yang bisa dicobanya. Pikiran positif membuatnya kebanjiran ide untuk mencoba berbagai peluang, pikiran positif membuatnya berani mencoba pangsa pasar yang mungkin tidak terduga, pikiran positif pula yang membangun kepercayaan diri untuk terus bangkit dan berusaha tanpa pantang menyerah. Dari pengalaman ibu Pinik, pengusaha telur asin ini maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pikiran positif akan mampu membuat kita menghadapi berbagai masalah.
Mungkin bagi orang yang terbiasa berjualan, hal ini sangatlah mudah. Tinggal membawa telur asin tersebut ke suatu toko atau depot makan, meminta pemilik toko atau depot tersebut menerima titipan telur-telur asin itu dan selesailah sudah. Namun masalah baru muncul. Ia tidak pandai berjualan. Ia hanya bisa memproduksi telur-telur tersebut lalu menunggu teman atau keluarganya membeli telur-telur itu. Ia belum pernah mempunya pengalaman untuk berjualan. Padahal, jika ingin usaha telur asinnya ini berkembang ia harus memasarkan produknya secara luas. Tapi apa yang dialami ibu Pinik ini jelaslah tidak semudah yang dibayangkannya. Pemilik toko yang pertama kali dikunjunginya menolak untuk dititipi telur asin itu dengan alasan produknya masih belum dikenal. Padahal ibu Pinik ini dengan rela memberikan bonus telur untuk dicicipi oleh pemilik toko.
Begitu pula dengan depot makanan pertama yang dikunjunginya pun menolak karena menganggap telur asinnya itu belum tentu diminati oleh pengunjung depot tersebut. Hari pertama akhirnya dilalui dengan tangan hampa, tidak ada satupun toko dan depot yang dikunjunginya itu mau menerima titipan telur asin-telur asin itu. Dalam keputusasaan, ia tetap berpikiran positif, bahwa suatu saat telur asin buatannya ini akan dikenal oleh masyarakat bahkan akan menjadi favorit. Tapi bagaimana hal itu bisa terjadi jika untuk menitipkan sepuluh butir telur asin ke suatu toko saja ia belum mampu? Itu berlangsung selama beberapa hari, bahkan hampir dua minggu pertama ia tidak mendapatkan tempat untuk menitipkan produk telur asinnya tersebut. Putus asa? Jelas. Ibu Pinik nyaris putus asa akan usaha ini.
Sempat di dalam pikirannya terlintas bahwa bisnis ini tidak akan dapat dipertahankan bahkan ia nyaris menghentikan pembuatan telur asin mengingat telur asin adalah produk makanan yang tidak akan dapat disimpan terlalu lama. Telur asin yang tanpa bahan pengawet hanya bisa bertahan sekitar dua hingga tiga minggu. Jika lebih dari itu, maka rasa dari telur asin itu akan sangat tidak enak dikonsumsi dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Dan jelas, telur seperti ini tidak akan bisa dijual dan harus dibuang. Sejak itu, ibu Pinik berusaha untuk berpikiran positif, maka akan ada banyak jalan keluar yang bisa dicobanya. Pikiran positif membuatnya kebanjiran ide untuk mencoba berbagai peluang, pikiran positif membuatnya berani mencoba pangsa pasar yang mungkin tidak terduga, pikiran positif pula yang membangun kepercayaan diri untuk terus bangkit dan berusaha tanpa pantang menyerah. Dari pengalaman ibu Pinik, pengusaha telur asin ini maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pikiran positif akan mampu membuat kita menghadapi berbagai masalah.
Ibu Pinik dengan Bisnis Telur Asin
4/
5
Oleh
I Wayan Budiana